Posted by : Unknown Sabtu, 02 Maret 2013


I. Pendahuluan
Dari awal hingga akhir, al-Qur'an merupakan kesatuan utuh. Tak ada pertentangan satu dengan lainnya.  Masing-masing saling menjelaskan (al-Qur'an yufassir-u ba'dhuhu ba'dha)[1]. Dari segi kejelasan, ada empat tingkat pengertian. Pertama, cukup jelas bagi setiap orang. Kedua, cukup jelas bagi yang bisa berbahasa Arab. Ketiga, cukup jelas bagi ulama/para ahli, dan keempat, hanya Allah yang mengetahui maksudnya[2].
Dalam al-Qur'an dijelaskan tentang adanya induk pengertian "hunna umm al-kitab". (QS. Ali 'Imran: 7)  yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap. Ketentuan-ketentuan induk itulah yang senantiasa harus menjadi landasan pengertian dan pedoman pengembangan berbagai pengertian, sejalan dengan sistematisasi interpretasi dalam ilmu hukum -hubungan antara ketentuan undang-undang yang hendak ditafsirkan dengan ketentuan-ketentuan lainnya dari undang-undang tersebut maupun undang-undang lainnya yang sejenis, yang harus benar-benar diperhatikan supaya tidak ada kontradiksi antara satu ayat dengan ayat lainnya. Hal ini untuk menjamin kepastian hukum. Sementara, unsur-unsur bahasa, sistem dan teologi dari teori interpretasi hukum masih harus dilengkapi dengan satu unsur lain yang tidak kalah pentingnya. Itulah unsur sejarah yang melatarbelakangi terbentuknya suatu undang-undang, yang biasa dikenal "interpretasi historis."
Dalam ilmu tafsir ada yang disebut asbab al-nuzul, yang mempunyai unsur historis cukup nyata. Dalam kaitan ini para mufassir memberi tempat yang cukup tinggi terhadap pengertian ayat al-Qur'an. Dalam konteks sejarah yang menyangkut interpretasi itulah kita membicarakan masalah nasikh-mansukh. Dalam hal ini masalah yang terpenting untuk kita soroti adalah masalah asas, pengertian/batasan, jenis-jenis, kedudukan, hirarki penggunaan, kawasan penggunaan dan hikmah kegunaannya.
Andaikan al-Qur'an tidak diturunkan dari Allah, isinya pasti saling bertentangan. (QS. Al-Nisa: 82). Ungkapan ini sangat penting dalam rangka memahami dan menafsirkan ayat-ayat serta ketentuan-ketentuan yang ada dalam al-Qur'an. Kitab Suci yang terdiri dari 6000 ayat lebih dan terbagi dalam 114 kelompok surat, mengandung berbagai jenis pembicaraan dan persoalan. Didalamnya terkandung antara lain nasihat, sejarah, dasar-dasar ilmu pengetahuan, keimanan, ajaran budi luhur, perintah dan larangan. Masalah-masalah yang disebutkan terakhir ini, tampak jelas dengan adanya ciri-ciri hukum didalamnya. Semua jenis masalah ini terkait satu dengan lainnya dan saling menjelaskan.
Dalam kaitan itu, Imam Suyuthi maupun Imam Syathibi banyak mengulas prinsip tersebut. Mereka mencatat adanya pendapat yang memandang adanya tiap ayat atau kelompok ayat yang berdiri sendiri. Tapi semuanya berpendapat bahwa antara satu ayat dengan ayat lainnya dari al-Qur'an tidak ada kontradiksi (ta'arudl). Dari asas inilah lahir metode-metode penafsiran untuk meluruskan pengertian terhadap bagian-bagian yang sepintas lalu tampak saling bertentangan. Adanya gejala pertentangan (ta'arudl) yang demikian merupakan asas metode penafsiran dimana Nasikh-Mansukh merupakan salah satu bagiannya[3].

II. Pengertian Nasikh Dan Mansukh
Lafaz nasikh (ناسخ) dan mansukh (منسوخ) adalah bentuk isim fail dan isim maf'ul dari masdar naskh (نسخ). Secara lughat naskh (نسخ) diungkapkan dan dimaksudkan untuk pengertian membatalkan (إبطال) dan menghilangkan (إزالة). Contohnya ialah: نسخت الشمس الظل , والريح آثار القدم (Matahari menghilangkan banyang-banyang dan angin menghilangkan jejak-jejak kaki). Lafaz naskh juga diungkapkan untuk pekerjaan memindah/menukil dan pengubahan (النقل والتحويل), contoh: نسخت ما في الكتاب (saya memindah tulisan dalam kitab)[4].
Secara istilah, pengertian naskh diperselisihkan oleh para ulama, apakah yang dimaksud naskh adalah menghilangkah hukum sebelumnya, atau menjelaskan berakhirnya masa hukum sebelumnya. Perbedaan pendapat ini berangkat dari metode pembuatan ta'rif, apakah sebuah pengertian harus mengandung makna secara lughawi atau tidak[5]. Menurut Al-Jurjani, berdasarkan pengetahuan manusia, naskh adalah sebuah perubahan hukum. Sedang berdasarkan pengetahuan Allah, nasakh adalah penjelasan tentang masa hukum[6].
Dari beberapa perbedaan pendapat ulama,  pengertian naskh dapat di kompromikan pada sebuah definisi yang tidak jauh dari perbedaan itu, yaitu:  Terangkatnya (terhapusnya) hukum suatu dalil dengan dalil syariat[7].
Sedangkan menurut Muhammad Shabih, naskh dalam terminologi mempunyai dua definisi:
1.      Pembatalan hukum syara' yang di ambil dari teks lama dengan dalil hukum (nash) syara' yang kemudian:
كنت نهيتكم عن زيارة القبور, ألافزورها. (رواه الحاكم)

Maka dalil yang pertama menunjukkan larangan ziarah, sedangkan dalil yang ke dua menunjukkan terangkatnya hukum larangan tersebut, dan dalil kedua setatusnya menempati hukum ibâhah dan sunat.
2.      Menghapuskan keumuman nash yang dahulu atau menjelaskan nash yang masih samar
والمطلقات يتربصن بأنفسهن ثلاثة قروء. ( البقرة : 228)
اذا نكحتم المؤمنات ثم طلقتموهن من قبل أن تمسوهن فما لكم عليهن من عدة تعتدونها ( الأحزاب : 49(

Maka dalil yang pertama menunjukkan keumuman nash, (sebelum dan setelah di setubuhi). Sedangkan dalil yang ke dua menunjukkan husus, (hanya tertuju pada istri yang belum di setubuhi)[8].

Dari perbedaan pengertian naskh di atas dapat di simpulkan bahwa para ulama mutaqaddimin (abad I hingga abad III H) memperluas arti naskh sehingga mencakup: (a) pembatalan hukum yang ditetapkan terdahulu oleh hukum yang ditetapkan kemudian; (b) pengecualian hukum yang bersifat umum oleh hukum yang bersifat khusus yang datang kemudian; (c) penjelasan yang datang kemudian terhadap hukum yang bersifat samar; (d) penetapan syarat terhadap hukum terdahulu yang belum bersyarat.

Apa pun cara rekonsiliasi tersebut, pada akhirnya mereka sependapat tidak ada kontradiksi dalam ayat-ayat al-Quran yag ditetapkan terakhir. Karena telah disepakati bahwa syarat kontradiksi antara lain adalah persamaan subjek, objek, waktu, syarat, dan lain-lain.

Pengertian yang demikian luas dipersempit oleh para ulama yang datang kemudian (muta’akhirin). Menurut mereka naskh terbatas pada ketentuan hukum yang datang kemudian, guna membatalkan atau mencabut atau bahkan menyatakan berakhirnya masa pemberlakuan hukum yang terdahulu, sehingga ketentuan hukum yang berlaku adalah yang ditetapkan terakhir[9].

Kata nasikh (yang menghapus) dapat di artikan dengan "Allah", seperti pada ayat:
ما ننسخ من آية أو ننسها......(البقرة : 106)

Dan juga dapat di artikan pula dengan "hukum yang menghapuskan hukum lain".

Dan mansûkh adalah hukum yang di angkat atau di hapuskan. Maka ayat mawaris atau hukum yang terkandung di dalamnya, menghapuskan (nasikh) hukum wasiat kepada kedua orang tua atau kerabat (mansûkh)[10].

III. Syarat dan Rukun Naskh
Rukun Naskh ada 4: (1) Naskh, (2) Nasikh, (3) Mansukh, dan (4) Mansukh 'anh. Jika naskh berarti menghilangkan hukum, nasikh adalah Allah atau dalil yang menghapus, mansukh ialah hukum yang dihapus, maka mansukh 'anh ialah para mukallaf[11].

Masalah yang tidak kurang pentingnya disoroti, sejauh mana jangkauan naskh itu? Apakah semua ketentuan hukum didalam syari'at ada kemungkinannya terjangkau naskh? Dalam hal ini Imam Subki menukil pendapat Imam Ghazali bahwa esensi taklif (beban tugas keagamaan) sebagai suatu kebulatan tidak mungkin terjangkau oleh naskh. Selanjutnya, Syekh Asshabuni mencuplik pendapat jumhur ulama bahwa naskh hanya menyangkut perintah dan larangan, tidak termasuk masalah berita, karena mustahil Allah berdusta. Sejalan dengan ini Imam Thabari mempertegas, nasikh-mansukh yang terjadi antara ayat-ayat al-Qur'an yang mengubah halal menjadi haram, atau sebaliknya, itu semua hanya menyangkut perintah dan larangan, sedangkan dalam berita tidak terjadi nasikh-mansukh.Ungkapan ini cukup penting diperhatikan, karena soal naskh adalah semata-mata soal hukum, yang hanya menyangkut perintah dan larangan, dan merupakan dua unsur pokok hukum.
Hal seperti yang diuraikan di atas, di bidang ilmu Hukum dapat kita lihat gambarnya pada Hukum Dasar, misalnya Undang-undang Dasar Negara yang tidak dapat dijangkau pencabutan. Adanya pencabutan terhadap sesuatu peraturan hukum dan penetapan peraturan lain untuk menggantikannya hanya berlaku pada undang-undang organik atau peraturan, kedudukan dan kawasan naskh. Dengan demikian, dengan mudah kita dapat mengenal beberapa persyaratan[12], yaitu :
  1. Mansukh harus berupa hukum syar'i (baca: ditetapkan syara'), bukan hukum aqli. Jika sesuatu telah menjadi kebiasaan manusia, lalu dihilangkan, seperti diperbolehkannya khamr di masa-masa awal Islam, lalu diharamkan, maka ini tidak termasuk naskh.
  2. Nasikh harus terpisah dari mansukh dan datang sesudahnya. Maka syarth, istitsna' dan sifah tidak disebut naskh, tetapi disebut takhshish, karena tidak terpisah dan bersamaan dengan masyruth, mustatsna dan mausuf.
  3. Naskh harus menggunakan dalil khithab, bukan qiyas dan ijma'. Maka terhapusnya hukum bagi orang yang telah mati tidak disebut naskh, sebab yang menghapus hukum tersebut tidak berupa khithab syar'i.
  4. Hukum yang dinaskh tidak terikat waktu, dimana ketika waktu itu telah tiba hukum menjadi hilang. Seperti firman Allah: ثم أتم الصيام إلى الليل [13]
  5. Tidak adanya kemungkinan lagi untuk mengkromikan dua nash yang bertentangan. Orang yang mengatakan bahwa puasa asyura dinaskh dengan puasa ramadlan dan kewajiban zakat dihapus dengan shadaqah, tidak sah dan tidak tepat, karena tidak ada pertentangan (ta'arudl) dianatara nash-nash yang menjelaskan[14]

IV. Eksistensi Naskh
Tiada hukum syara' kecuali dapat menerima naskh. Hal ini adalah sesuatu yang mungkin (jaiz) berdasarkan akal dan dan juga terjadi dalam hukum-hukum syara', berdasarkan dalil-dalil yang ada. Tidak ada seorang ulama pun yang mengingkari, kecuali segolongan kecil ulama-ulama muta'akhirin. Diantara mereka ada yang memperbolehkan terjadinya naskh secara akal tidak secara syara', dan ada pula yang sebaliknya. Melihat hal ini Ibnu Daqiq al-Id mengatakan bahwa ada pernyataan yang dinukil dari para pengingkar naskh, yakni: Hukum yang telah ditetapkan tidak dihapus, melainkan hukum itu telah habis masanya karena adanya nash yang menunjukkan berakhirnya masa hukum tersebut[15].
Mereka yang menolak adanya naskh dalam al-Quran, beranggapan bahwa pembatalan hukum dari Allah mengakibatkan satu dari dua kemustahilan-Nya, yaitu: (a) ketidaktahuan, sehingga Dia perlu mengganti atau membatalkan satu hukum dengan hukum yang lain; dan (b) kesia-siaan dan permainan belaka. Argumentasi ini jelas tertolak dengan memperhatikan argumentasi logis pendukung naskh.Dalam hal ini agaknya dibutuhkan usaha rekonsiliasi antara kedua kelompok ulama tersebut, misalnya dengan jalan meninjau kembali pengertian istilah naskh yang dikemukakan oleh para ulama muta’akhir, sebagaimana usaha mereka meninjau istilah yang dikemukakan oleh para ulama mutaqaddim.
Syiah Râfidah sangat berlebihan dalam menetapkan naskh dan meluaskannya, dengan memandang konsep al-badâ' sebagai sesuatu hal yang mungkin terjadi bagi Allah. Untuk mendukung pendapatnya itu mereka mengajukan argumentasi dengan ucapan-ucapan yang mereka nisbahkan kepada Ali r.a. secara dusta dan palsu. Dan juga dengan firman Allah:
يمح الله ما يشاء ويثبت (الرعد : 39)

"Allah menghapuskan apa yang Ia kehendaki dan menetapkan (apa yang ia kehendaki)". (QS.al-Ra'd:13).

Oleh mereka diartikan, “Allah siap untuk menghapuskan dan menetapkan”.

Pemahaman demikian merupakan kesesatan yang dalam dan penyelewengan terhadap al-Quran, sebab makna ayat tersebut adalah: Allah menghapuskan sesuatu yang dipandang perlu dihapuskan dan menetapkan penggantinya jika penetapannya mengandung maslahat. Hal demikian ini tidak menuntut adanya kejelasan yang didahului kekaburan bagi Allah. Tetapi Ia melakukan itu semua berdasarkan pengetahuan-Nya tentang sesuatu sebelum sesuatu itu terjadi[16].

VI. Pembagian Naskh
Naskh terbagi atas empat bagian:
1.   Naskh Quran dengan Quran, bagian ini di sepakati kebolehannya dan telah terjadi dalam pandangan mereka yang mengatakan adanya naskh. Naskh Qur'an dengan Qur'an ada empat macam:
  1. Naskh hukum, bukan bacaannya. Contohnya banyak, diantaranya ayat : وَاَلَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا وَصِيَّةً لِأَزْوَاجِهِمْ } الْآيَةُ. Ayat ini dinaskh hukumnya, tidak bacaannya dengan ayat: وَاَلَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا .
  2. Naskh bacaan tidak hukumnya. Seperti ayat: الشَّيْخُ وَالشَّيْخَةُ إذَا زَنَيَا فَارْجُمُوهُمَا أَلْبَتَّةَ. Hukum ayat ini tetap, namun bacaannya dinaskh.
  3. Naskh hukum sekaligus bacaannya. Contohnya adalah ayat yang menjelaskan terjadinya hukum mahram karena radla'ah, jika sudah mencapai sepuluh kali susuan. Ayat ini dinasakh hukum sekaligus bacaannya. Hal ini berdasarkan hadits riwayat Muslim dari Aisyah[17].
2.      Kedua, naskh Quran dengan Sunnah, dan naskh ini juga terbagi atas dua macam:
  1. Naskh Quran dengan hadis âhâd. Ulama jumhur berpendapat, Quran tidak boleh di naskh oleh hadist ahad, sebab Quran adalah mutawâtir dan menunjukkan yakin, sedang hadits ahad zannî bersifat dugaan, di samping tidak sah pula menghapuskan sesuatu yang ma'lum (jelas di ketahui) dengan yang madznûn (di duga). 
  2. Naskh Quran dengan hadis mutawatir. Naskh demikian di bolehkan oleh Imam Malik, Abu Hanifah dan Ahmad dalam satu riwayat, sebab masing-masing keduanya adalah wahyu.
3.      Naskh Sunnah dengan Quran, seperti yang di sepakati oleh jumhur ulama. Sebagai contoh yaitu tentang masalah menghadap ke Baitul Maqdis yang di tetapkan dengan sunnah, seruan puasa pada hari 'Asyura, yang keduanya ini di tetapkan berdasarkan sunnah dan di naskh oleh Quran.
4.    Naskh Sunnah dengan Sunnah. Dalam kategori ini terdapat empat bentuk: (a) naskh mutawatir dengan mutawatir; (b) naskh âhâd dengan âhâd; (c) naskh âhâd dengan mutawatir; (d) naskh mutawatir dengan âhâd. Tiga bentuk pertama di bolehkan, sedangkan pada bentuk ke empat terjadi silang pendapat seperti halnya naskh Quran dengan hadits ahad yang tidak di perbolehkan oleh jumhur ulama[18].
Naskh juga terbagi menjadi:
  1. Nasakh Badal, seperti perubahan arah kiblat dari Baitul Maqdis ke Mekah
  2. Nasakh Ghairu Badal, seperti keharusan memberikan shadaqah kepada Rasul jika menghadap beliau (إذا ناجيتم الرسول فقدموا بين يدي نجواكم صدقة). Ayat tentang hukum ini dinasakh dengan ayat : أأشفقتم أن تقدموا بين يدي نجواكم صدقات ، فإن لم تفعلوا وتاب الله عليكم الآية.
  3. Naskh sebuah hukum kepada hukum yang lebih berat
  4. Naskh sebuah hukum kepada hukum yang lebih ringan.

VI. Hikmah Adanya Naskh
Dalam menjelaskan hikmah keberadaan naskh dalam syariah, Al-Imam Fakhruddin dalam kitab "Al-Mathalib Al-`Aliyah" mengatakan syariah ada dua macam; (1) Syariah yang dapat diketahui manfaatnya secara akal, baik dalam kehidupan dunia atau akhirat, (2) Syariah sam'iyah yang tentunya tidak dapat diketahui manfaatnya kecuali berdasarkan nash yang bersifat sam'iyyah.
Dalam syariah pertama tidak mungkin terjadi adanya naskh, seperti pengetahuan tentang Allah dan melakukan taat kepadaNya. Syariah macam ini bertumpu pada dua hal, pengagungan terhadap perintah Allah dan kasih sayang Allah terhadap makhlukNya.
Dalam syariah kedua ada yang dapat menerima naskh dan menghasilkan tata cara mendirikan taat dan ibadah dengan sebenarnya. Diantara manfaat adanya naskh dalam syariah semacam ini ialah:
  1. Amal-amal badaniyah ketika dilakukan secara terus menerus akan menjadi sebuah kebiasaan bagi seorang hamba. Maka ia akan menyangka bahwa amal-amal tersebut dituntut untuk dilakukan karena amal-amal itu sendiri, yang akhirnya mengakibatkan tidak tercapainya maksud tujuan sesungguhnya dari sebuah amal, yaitu ma'rifatullah dan mengagungkannya. Ketika metode ibadah dirubah dari bentuk ke bentuk yang lain, dan seketika itu akan jelas bahwa tujuan ibadah adalah menjaga hati, dan menanamkan cinta kepada Allah, maka akan hilanglah kesusahan akan beratnya bentuk-bentuk dhahir ibadah tersebut, menuju ma'rifat Allah yang maha mengetahui segala sesuatu.
  2. Menghilangkan kejenuhan dan bosan dari dalam diri manusia yang memang diciptakan dengan sifat demikian. Ketika sebuah syariah baru ditetapkan, maka manusia akan semakin bersemangat untuk melakukannya.
  3. Menjelaskan kemuliaan Rasulullah SAW. Syariah beliau menghapus syariah nab-nabi terdahulu, sedangkan syariah beliau tidak akan pernah terhapus.
  4. Menjaga mashalah dan kesejahteraan umat
  5. Memberi kegembiraan bagi muslimin dengan menghilangkan kewajiban khidmah di surga, karena adanya naskh didunia menunjukkan pengangkatan derajat mereka di surga.
  6. Menghendaki kemudahan bagi umat[19].

VII. Penutup
Naskh adalah perbuatan Allah yang Maha Bijaksana lagi Mengetahui, Dia memerintahkan dan melarang hamba-Nya apa yang dikehendaki-Nya, tidak berarti Dia sewenang-wenang dan menganiaya, akan tetapi semua hukum dan perbuatan-Nya penuh dengan hikmah dan pengetahuan, terkadang dapat dideteksi oleh rasio dan kadang pula tersembunyi di balik tirai alam ghaib untuk menguji loyalitas seorang hamba.
Apakah mustahil jika Dia memerintahkan kepada yang dimiliki-Nya dengan apa yang dikehendaki-Nya? Suatu maslahat dan hikmah akan berbeda tergantung kondisi dan waktu, terkadang suatu hukum pada suatu waktu atau kondisi adalah lebih bermaslahat bagi para hamba lain, dan terkadang hukum yang lain pada waktu dan kondisi yang lain pula adalah lebih bermaslahat, dan Allah Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana.(*)


[1]  Al-Khadimi, "Buraiqah Mahmudiyah", Juz 1 hlm. 55, Dar Ihya' al-kutub al-arabiyah
[2]  Wizarah al-awqaf wa asy-syu'un al-Islamiyah, "al-mausu'ah al-Fiqhiyah", Kuwait, Dar Al-Wizarah Juz 13 hlm. 94
[3] KH. Ali Yafi, http://otodidakilmu.blogspot.com/2007/12/nasikh-mansukh-dalam-al-quran.html
[4]  Syaikh Ahmad Bin Abdul Lathif Al-Khathib, "An-Nafahat", 98-101, Surabaya, Al-Haramain tt.
[5]  Al-Athar, "Hasyiah al-Athar ala syarh al-Jalal al-Mahalli", Juz. 2 hlm. 107-108, Beirut, Dar Kutub Al-Ilmiyah.
[6] Al-Jurjani, "At-Ta'rifat", hal: 238. Surabaya, Al-Haramain, tt.
[7] Al-Zarkasyi, "Al-Bahr al-Muhith", Juz 5 hlm. 197.
[8] http://fas-mesir.blogspot.com/2009/03/dinamika-otentitas-nasikh-mansukh-dalam.html
[9] Ibid
[10]  Al-Ghazali, "Al-Mustashfa", hlm. 97, Beirut, Dar Kotob al-Ilmiyah
[11]  Ibid
[12]  KH. Ali Yafie, loc.cit.
[13]  Al-Ghazali, loc.cit.
[14]  Al-Zarkasyi, loc.cit. hlm.211
[15]  Wizarah al-awqaf wa asy-syu'un al-Islamiyah, loc.cit Juz 40 hlm. 257
[16]  http://fas-mesir.blogspot.com/2009/03/dinamika-otentitas-nasikh-mansukh-dalam.html
[17]  Ahmad bin Abdullatif Al-Khathib, "An-Nafahat", hlm. 113, Surabaya Al-Haramain. tt
[18]  Ibid
[19] Al-Zarkasyi, op.cit. hlm 214-215

Leave a Reply

PEMBACA YG BAIK, SLALU MENINGGALKAN KOMENTAR YG BERMANFA'AT

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

Welcome to PIAMR

Popular Post

- Copyright © DokTren Miftahul Huda -Salafiyatul Huda- Powered by Blogger - Designed by Solihin The Official Site -